Juli lalu, tersiar banyak kabar buruk dari ibukota Jakarta. Salah satunya tentang seorang bapak yang membopong jenazah anaknya. Hal itu beliau lakukan karena tidak ada yang dengan sudi mengangkut jenazah anaknya dengan mobil. Akhirnya, dibawah teriknya matahari, sang Bapak membawa jenazah anaknya dengan gerobak sampah. Beberapa hari kemudian, kabar buruk kembali datang. Kali ini tentang penolakan 6 Rumah Sakit terhadap bayi mungil berusia 14 hari yang bernama Zulfikri yang mengidap penyakit mematikan. Dengan alasan yang sedemikian rupa, anak yang tidak berdosa itu dilempar kesana sini. Penjualan bayi pun ikut meramaikan bursa "kegagalan" negara ini dalam mengisi usianya yang makin renta. Rosdiana dengan dalih mencari nafkah tambahan ditengah rumahnya yang telah berlantai dua dengan amannya menawarkan lebih dari 40 ibu hamil untuk dibiayai persalinannya dan dirawat. Padahal itu semua kedok semata agar anak yang nantinya dilahirkan dapat menjadi kebun uang yang akan menggembirakan.
Maka julukan sebagai bangsa yang murah maaf (baca : mudah memberi maaf) perlu dipertanyakan kembali. Ada orang asing yang heran dengan kebiasaan bangsa kita yang biasa mengucapkan maaf, misal pada saat mengawali pembicaraan. Menurutnya, sangat aneh mengucapkan kata maaf diawal pembicaraan, padahal dia tidak bersalah. Dan lebih aneh lagi, ketika justru dia benar-benar -terbukti, secara sah dan meyakinkan- bersalah, tapi sulitnya untuk mengucapkan maaf atas kesalahannya.
Kasus lain juga mungkin perlu disingkap, misalnya ada orang yang dengan mudah mempersilahkan orang lain untuyk mengambil makanan pada saat pesta walimah (prasmanan), seolah-olah seluruh tamu yang datang adalah saudara yang harus dimuliakannya, bahkan dengan senang hati mereka antre. Tetapi kejadian yangs angat kontral bisa langsung kita saksikan ketika orang antri membayar tagihan listrik atau telepon. Mudah sekali orang untuk menyerobot antrean dengan seenaknya dan tiada rasa malu dan bersalah untuk melakukan tindakan yang memalukan dan merugikan orang lain itu. Padahal, menyerobot itu adalah perbuatan yang paling dibenci orang Barat modern, meskipun mereka belum belajar unggah-ungguh . Jangan-jangan ketaatan dan senyum kita yang ramah hanya lip service , karena pada kenyataanya tampak "raut muka asli" bangsa ini bertolak belakang dengan realitas yang ada.
Analis luar negeri juga pernah mengatakan "Indonesia adalah negara yang subur, negeri yang diberikan kekayaan alam oleh Tuhan yang melimpah, tetapi bangsa ini "dikutuk" oleh karena perbuatannya sendiri". Kelahiran generasi penerus koruptor akan makin menjatuhkan kondisi perekonomian bangsa yang kita cintai ini. Ketika seorang soleh tampil kedepan, dan menolak untuk dilibatkan dalam proyek korupsi, maka dengan terus terangnya mereka mengatakan "Anda ini sudah ketinggalan zaman, Indonesa sudah tidak butuh orang-orang suci".
Dikuranginya jam tayang televisi hanya hingga pukul 01.00 dini hari dengan dalih hemat energi, tidak bisa menjadi jaminan bahwa sisa energi kita tidak akan habis. Karena persoalannya bukan itu. Kebocoran "energi" justri sebenarnya bis terjadi di banyak sektor lain. Misalnya, salah satu pemborosan penggunaan uang belanja negara, penggerogotan uang negara untuk ngelancong alias jalan-jalan ke luar negeri, seperti yang dilakukan anggota dewan kita. Para wakil rakyat yang berkedudukan di Ibukota negara itu berdalih, kedatangannya ke luar negeri dalam rangka studi banding, lah koq, malah belanja dan memborong beberapa benda mahal yang tidak ada di negara kita.
Hemat energi model Jakarta lebih lucu lagi. Dalam sebuah kesempatan, Bang Yos -Gubernur DKI Jakarta- mengatakan "kami akan menindak tegas siapapun yang menggunakan lampu secara berlebih-lebihan seperti lampu pada pada papan iklan besar..". Padahal, baru beberapa hari lalu, Pemda DKI menghabiskan APBD sebesar 28,5 M untuk pembangunan air mancur modern di Bundaran HI. Air mancur itu sendiri secara otomatis menyerap energi yang tidak sedikit. Tapi tetap saja, Bang Yos cuma bisa berdalih "... pembangunan air mancur kan untuk pemandangan jakarta sebagai Ibukota negara agar lebih indah..". Teriakan protes sebagian warga yang sangat tidak setuju dengan hal bertentangan itu hanya ditepuk sebelah tangan, dilirik sebelah mata dan didengar sambil tidur lelap.
Sampai kapan kita menyaksikan wajah ketidak adilan sosial ini terjadi di negara kita? Perlu kita renungkan bersama, bahwa Allah SWT telah "menyapa" kita setidaknya yang paling besra lewat tsunami Aceh yang memakan korban ratusan ribu jiwa itu. Apakah ada tanda-tanda bangsa ini untuk bangskit? Kalau melihat apa yang pernah diucapkan mantan anggota parlemen Jepang yang mengenang saat hancurnya Nagasaki dan Hiroshima oleh Bom atom A.S, beliau berkata "bangunan sebesar telapak tangan pun kami tidak punya, betapa hancurnya negara kami waktu itu" . Lihatlah, pada titik terendah itu, Jepang bangkit dan kini menempati posisi ke-2 negara termaju setelah Amerika. Apakah ini bisa menjadi "hipotesis" (cerminan) kita, bahwa pada titik terendah setelah Tsunami, Aceh atau bangsa kita bisa bangkit dan menjadi bangsa yang keluar dari krisis serta melaju sebagai bangsa yang disegani?
Sekali lagi, evaluasi diri merupakan hal yang utama bagi kita atas apa saja yang kita saksikan dan dengarkan tentang "kemalangan" bangsa ini. Sikap optimistis memang harus selalu dipupuk, tetapi pesimisme akan terus mengintai sepanjang "babak ketidakpastian" ini berlangsung tiada ujung. Jawa Pos beberapa bulan lalu pernah mewartakan penelitian media massa dunia, bahwa bangsa Indonesia berada pada posisi pertama dalam soal bangun pagi, sedangkan Jepang, A.S dan negara maju lainnya paling siang. Nah, Pertanyaannya adalah kalau memang bangsa Indonesia bisa bangun lebih pagi, lalu apa saja yang dilakukan selama baru bangun itu, kemajuan jarang ditemukan, yang ada hanya kemajuan jam kedatangan kantor (baca : terlambat) dan sikap-sikap pejabat maupun intelektual yang indisipliner , sehingga massa grass root ikut apa yang mereka lakukan.
Itulah perilaku dan keadaan bangsa kita yang sudah cukup sepuh ini. Ibarat manusia, yang sudah berusai 60 tahun pastinya banyak pengalaman, namun Indonesia tidak demikian, karena diusia 60 Tahun ini sedang cari pengalaman. Menyedihkan. :~(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar